KUTACANE – Lapas Kelas IIB Kutacane kembali diguncang kasus keterlibatan narapidana dalam peredaran narkoba. Dua warga binaan, berinisial J (37) dan S (34), ditangkap setelah kedapatan menyimpan sabu seberat 5 gram di dalam kompleks lapas. Selain narkotika, petugas juga menyita satu unit telepon genggam dan kartu SIM aktif yang diduga digunakan dalam komunikasi kejahatan.
Peristiwa itu terjadi pada Senin (20/10/2025) siang, ketika petugas pemasyarakatan mencurigai perilaku J yang terlihat mencurigakan. Setelah dilakukan penggeledahan, ditemukan satu bungkus sabu di saku celana kirinya. Hasil interogasi kemudian mengarah pada keterlibatan rekannya, S, dalam kepemilikan barang haram tersebut.
“Barang bukti sabu seberat lima gram dibungkus dalam plastik bening. Selain itu, handphone dan kartu SIM yang diduga untuk komunikasi dalam transaksi narkotika juga diamankan. Kedua warga binaan kini sudah diserahkan kepada Satresnarkoba Polres Aceh Tenggara untuk penyidikan lebih lanjut,” ujar Kasi Humas Polres Aceh Tenggara, AKP Jomson Silalahi, kepada media, Selasa (21/10).
Polisi menduga sabu tersebut diselundupkan dari luar dan kemudian digunakan atau diedarkan di dalam lingkungan Lapas Kutacane. Kasus ini memperpanjang daftar kejadian serupa, di mana napi tetap dapat mengendalikan peredaran narkoba meski tengah menjalani hukuman. Ironisnya, alat komunikasi seperti handphone—yang jelas dilarang dalam regulasi pemasyarakatan—kembali ditemukan dalam penguasaan narapidana.

Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan, penggunaan alat komunikasi termasuk handphone adalah pelanggaran berat yang dapat dikenai sanksi. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kasus demi kasus terus terulang, memperlihatkan lemahnya pengawasan internal serta potensi lolosnya barang-barang terlarang ke dalam kompleks lembaga pemasyarakatan.
“Tidak semestinya sabu dan handphone bisa begitu saja masuk ke dalam lapas. Ini bukti bahwa masih ada celah besar dalam sistem pengamanan. Kami mendalami lebih lanjut bagaimana barang-barang itu bisa masuk, termasuk mengevaluasi kemungkinan keterlibatan pihak luar maupun dalam,” tegas Jomson.
Kepolisian mengapresiasi respon cepat pihak Lapas Kutacane yang langsung menyerahkan kedua napi untuk proses hukum. Namun, kejadian ini juga menunjukkan perlunya langkah korektif secara menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan manajemen keamanan di dalam lembaga pemasyarakatan.
Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Yulhendri, S.I.K menegaskan komitmen institusinya dalam melanjutkan perang terhadap narkotika, termasuk di lingkungan tertutup seperti lapas. Ia juga meminta seluruh jajaran pemasyarakatan untuk memperkuat koordinasi dan menutup celah praktik ilegal yang masih terjadi.
“Kami tidak akan kompromi terhadap segala bentuk pelanggaran hukum. Apakah pelaku berada di luar atau di dalam penjara. Semua akan kami tindak tegas,” ujarnya.
Di tengah upaya rehabilitasi dan pembinaan narapidana, kasus ini menimbulkan pertanyaan krusial terhadap efektivitas lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya. Lapas semestinya tidak hanya menjadi tempat menjalani hukuman, tetapi juga ruang perubahan bagi mereka yang tersangkut kasus hukum. Apabila pengawasan tidak diperketat, maka praktik kejahatan hanya akan berpindah ruang, dari jalanan ke balik jeruji.
Langkah tegas penindakan wajib dibarengi reformasi internal yang menyentuh akar permasalahan di tubuh pemasyarakatan. Tanpa perbaikan menyeluruh, kepercayaan publik terhadap fungsi pembinaan di lapas makin dipertaruhkan.
Laporan : Deni Affaldi



































