PEKANBARU — Upaya Kingswood Capital Ltd (KCL) untuk mengambil alih status operator Wilayah Kerja (WK) Migas Langgak di Provinsi Riau dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak, kini disorot tajam oleh banyak pihak. Tak hanya dinilai bermuatan kepentingan bisnis, manuver KCL diduga kuat melibatkan jaringan orang berpengaruh dan praktik mafia hukum tingkat tinggi.
Dugaan tersebut diungkapkan Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Hengki Seprihadi, yang menyebut bahwa langkah KCL untuk menggeser BUMD milik daerah dari posisi operator sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara sistematis. Menurutnya, strategi itu bukan sekadar persoalan kontrak atau investasi, melainkan telah menyentuh ruang-ruang gelap yang sarat dengan permainan kotor dan kekuatan di luar prosedur hukum yang sehat.
Hengki menyampaikan bahwa salah satu titik penting dalam strategi KCL terjadi pada 19 Februari 2025, ketika Country Manager KCL, Effendi Situmorang, melayangkan surat resmi kepada Direktur Utama PT SPR. Dalam surat tersebut, Effendi mendesak agar KCL ditunjuk sebagai operator WK Langgak, merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3895 K/Pdt/2024 yang dikeluarkan pada 30 Oktober 2024. Namun, CERI mengendus adanya ketidakberesan dalam proses hukum perkara tersebut, terutama karena KCL menunjuk dua pengacara ternama, Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso, sebagai kuasa hukumnya dalam perkara kasasi.
Dua nama ini belakangan terbongkar ke publik setelah Kejaksaan Agung menetapkan keduanya sebagai tersangka dalam kasus suap kepada hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan. “Rekam jejak kedua pengacara ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya piawai dalam membangun argumentasi hukum, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatur pemberitaan dan membentuk opini publik dengan membagikan uang ke sejumlah oknum media massa,” ungkap Hengki.
CERI menilai bahwa sangat mungkin keputusan kasasi yang memenangkan KCL dalam perkara melawan PT SPR dan PT SPR Langgak juga tak lepas dari praktik suap yang dilakukan oleh Ariyanto dan Marcella. Karena itu, Hengki mendesak agar Kejaksaan Agung segera menyelidiki kemungkinan keterlibatan dua tersangka tersebut dalam upaya memenangkan KCL di Mahkamah Agung. Ia menegaskan bahwa jika terbukti, maka perkara WK Langgak bukan hanya soal bisnis migas, tapi telah berubah menjadi skandal hukum nasional yang merusak kredibilitas pengadilan.
Sengkarut antara KCL dan BUMD Riau sebenarnya telah menjadi perhatian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak satu dekade lalu. Pada 30 Desember 2014, BPKP Perwakilan Provinsi Riau merilis laporan audit kinerja yang menyebutkan bahwa Kesepakatan Bersama yang ditandatangani PT SPR dan KCL pada 19 April 2010 berpotensi merugikan PT SPR. Dalam perjanjian itu, PT SPR menanggung seluruh biaya joint study sebesar USD 400.000, signature bonus USD 1.005.000, serta performance bond senilai USD 1.000.000. Ironisnya, keuntungan dari WK Langgak dibagi sama rata antara SPR dan KCL.
Temuan BPKP itulah yang mendorong PT SPR sejak Maret 2015 untuk menghentikan pembagian Participating Interest (PI) sebesar 50 persen kepada KCL. KCL kemudian menuduh SPR melakukan wanprestasi dan menuntut agar mereka ditunjuk sebagai operator WK Langgak, dengan merujuk kembali pada isi kesepakatan tahun 2010 yang ditandatangani oleh Direktur PT SPR saat itu, Rahman Akil, di masa Gubernur Riau masih dijabat oleh Rusli Zainal.
CERI melihat kesepakatan tahun 2010 itu sebagai akar dari permasalahan. Hengki mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut diduga sarat tekanan politik dan lobi tingkat tinggi. Bahkan ia menyebut adanya indikasi keterlibatan Menteri ESDM kala itu, Purnomo Yusgiantoro. “Kita tidak tahu apa kesepakatan atau kongkalikong di balik layar yang membuat Direktur PT SPR menandatangani perjanjian yang jelas-jelas merugikan perusahaannya sendiri,” kata Hengki.
Tidak berhenti pada upaya hukum, KCL juga sempat melayangkan tuduhan pidana kepada dua petinggi PT SPR dan PT SPR Langgak dengan dalih penggelapan. Namun, tuduhan tersebut kandas setelah Mahkamah Agung menyatakan bahwa kedua pejabat tidak terbukti melakukan tindak pidana dan memerintahkan agar nama baik mereka dipulihkan.
CERI bahkan lebih jauh mencium adanya keterlibatan sejumlah pengusaha migas nasional yang berada di belakang gerakan KCL. Nama-nama seperti Edi Yosfi dan Eka Chandra disebut aktif berada dalam lingkaran manuver KCL untuk menggusur PT SPR Langgak sebagai operator WK Langgak. Bahkan, jaringan pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso disebut-sebut memiliki hubungan dengan sosok-sosok besar lain seperti Yohanes Eka Chandra dan tokoh intelijen senior AM Hendropriyono. “Nama-nama ini memang belum masuk ke permukaan, tapi mulai ramai dibicarakan di kalangan pelaku migas dan dalam perbincangan warung kopi,” ujar Hengki.
CERI menegaskan bahwa pengelolaan WK Langgak tidak boleh jatuh ke tangan kelompok atau individu yang menjadikan hukum sebagai alat mainan. Selain merugikan keuangan daerah, situasi ini juga berbahaya bagi ketahanan energi nasional. Oleh karena itu, Hengki meminta aparat penegak hukum dan pemerintah pusat untuk tidak tutup mata dan segera mengambil langkah serius agar skandal ini tidak berkembang menjadi preseden buruk dalam pengelolaan sumber daya alam negara. (*)